Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 November 2018

KOMPAS


KOMPAS



Aku tersenyum lalu kemudian sedikit tertawa. Untung saja dulu dikala masih menginjak bangku SMA aku pernah mengikuti kegiatan Praja Muda Karana. Kalau tidak, mungkin aku sudah mati kedinginan karena tidak tahu cara membuat api unggun. Lalu kemudian aku ingat, suatu hari di masa lalu kawanku pernah berkata “Jangan meremehkan dasar-dasar bertahan hidup ini ya! Kamu suatu saat nanti pasti butuh” katanya merajuk  karena aku mengejek buku lusuhnya yang bahkan judulnya saja tidak terbaca. Tapi dia sabar, lalu mengajariku isi buku itu. Aku beruntung.
Sekarang aku tersesat di tengah hutan sendirian. Aku hanya bisa duduk diam sambil mengamati pohon-pohon di sekitarku yang bergerak-gerak karena angin seolah-olah ingin berkata “Sedang apa manusia ini di sini?” Sebenarnya aku ingin berteriak kepada mereka “AKU TERSESAT, BISAKAH KALIAN MENUNJUKKAN JALAN KELUAR KEPADAKU?” Namun, aku hanya terdiam. Bukan karena aku tahu bahwa pohon tidak berbicara, akan tetapi karena aku tahu bahwa mereka akan tertawa jika mendengar alasan kenapa aku bisa tersesat. Lebih-lebih, alasan kenapa aku lebih memilih untuk diam dan menunggu.
***
Hari itu aku pulang dari kuliah. Hari-hari sebelumnya aku hampa. Namun, di hari itu aku merasa bahwa akan ada sesuatu yang berbeda. Jujur saja, aku bukan tipe manusia yang suka memperhatikan sekelilingnya. Akan tetapi, hari itu aku melihat sekelilingku. Banyak orang tersenyum dan tertawa. Aku menyapa, lalu mereka tersenyum. “Aneh, tidak biasanya mereka begitu” Pikirku. Lalu, diriku menabrak seorang wanita karena teledor. Diriku terjatuh, ternyata dia lebih kuat berdiri. Aku melihat kearahnya, dia meminta maaf “Aduuhh, sorry ya, lu gak apa-apa kan?” ucapnya. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. “iya, iya aku gak apa-apa kok” kataku sambil berdiri sendiri. Dia tersenyum, lalu kemudian berjalan pergi. “Padahal dia merasa bersalah, tapi malah tersenyum kepadaku. Benar-benar hari yang aneh.”
Aku memegang pintu kamar kost yang sudah terbuka bahkan sebelum aku memasukkan dan memutar kuncinya. Aku panik, kamarku mungkin kemasukan maling. Aku bergegas menyalakan lampu. Tidak ada yang berubah dari semenjak aku meninggalkannya. Semuanya masih rapi. Tapi, ada satu benda di atas kasurku. Aku tidak merasa meninggalkan atau bahkan punya benda seperti itu. Bentuknya bulat, cukup besar, sebesar genggamanku. Ada jarum dia atasnya yang menunjuk ke arah utara dan selatan. “Kompas? Siapa yang masuk ke kamarku, lalu meninggalkan kompas?” kataku. Aku hampir mati saat itu. Bagaimana tidak? Tepat setelah aku berkata seperti itu, kompas itu menyahutiku. “Aku. Aku yang masuk kesini dan meninggalkan diriku di atas kasurmu.” Begitu katanya. Aku melemparnya ke tembok. Benda itu pasti ada jinnya. Namun sayang, dia tidak rusak. Tergores sedikit pun tidak. “Aduh, sakit tauuu.” Katanya. Aku takut dan bingung. Kemudian, dia lebih tahu bahwa aku takut dan bingung. “Tidak usah takut dan bingung seperti itu,” ucapnya. Ya Tuhan, kompas kok bicara. “Aku ke sini untuk mengisi kehampaan hari-harimu. Aku tahu kamu bosan di sini kan?” Aku membantahnya, “Ah siapa bilang? Aku senang kok disini. Kenapa aku harus bosan?” aku berbohong dan dia tahu itu.
“Jauh dari sini ada tempat yang aku jamin kau pasti menyukainya. Tempat di mana kau tidak akan pernah merasa bosan” katanya. “Dan aku bisa menunjukkan jalannya padamu.” Dia lalu melayang di udara. Hampir mati aku dibuatnya. Benar saja, karena setelah itu aku pingsan.
Aku terbangun membuka mata, berharap semua hal yang barusan aku alami tidak lain hanyalah sebuah mimpi. Aku melangkah ke kamar mandi ingin mencuci muka. “Sudah berapa lama ya aku tertidur?” Di kamar mandi aku menatap cermin. Benar-benar hari yang aneh. Mimpi yang aneh. Aku melangkah keluar. “Bagaimana? Kau siap memulai perjalananmu menuju ketidakhampaan?” kata kompas terbang itu. “AAAAAAAAAAA……” teriakku ketakutan setengah mati. Itu bukan mimpi.
***
Penyesalan itu datangnya di akhir, kawan. Jadi berhati-hatilah sebelum melangkah. Kalau saja aku tahu bahwa akhirnya akan menjadi seperti ini, aku lebih memilih untuk tidak bertemu dengannya. Aduh, aku tersesat. Sendirian aku duduk menghadap api unggun. Mengeluh sudah tidak ada gunanya. Aku ingin berjalan mencari jalan keluar. Namun apa daya, aku buta. Aku buta arah. Aku tidak tahu harus kemana. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin pulang namun aku juga ingin menunggu.
***

“Baiklah, aku percaya padamu,” kataku. “Mau kau ajak kemana aku sekarang?”
“ikuti saja aku, tidak usah banyak bertanya. Aku berjanji tempatnya asik. Tidak membosankan. Tidak seperti kamarmu yang hanya dicat berwarna kuning ini. Tidak menarik.”
“Hei, apa hakmu mengatai kamarku ini?” aku menggerutu.
Kalau kalian pikir kompas yang berbicara adalah sesuatu yang aneh, yang terjadi selanjutnya akan lebih aneh lagi. DIA BERUBAH MENJADI SESOSOK MANUSIA.
“nah aku rasa begini lebih enak.” Ucapnya.
Siapa sangka, tertanya kompas yang berbicara itu adalah seorang wanita yang tubunya pas-pasan. Tidak terlalu pendek, tidak terlalu tinggi. Tidak terlalu gendut, tapi juga tidak kurus. Tidak terlalu hitam, namun tidak juga putih. Karena itu aku menyebutnya pas. Wajahnya juga biasa saja. Dia tidak cantik. Setidaknya begitu menurutku.
“Aku rasa orang tidak akan curiga kalau aku menuntunmu dengan wujud manusiaku, bukan begitu?” Tanyanya.
“Kenapa tidak dari tadi saja kau berubah menjadi manusia? Supaya aku lebih terkejut menemukan seorang wanita tertidur di kasurku daripada harus takut setengah mati bertemu kompas yang bisa berbicara.” Tanyaku kepadanya. Dibalasnya dengan senyum kecil.
“Ayo kita mulai jalan. Hari sudah semakin gelap.”
***
Datang seekor burung menghampiriku. Burung itu imut dan lucu. Dia bertanya kenapa aku hanya terdiam saja.
“Tidak biasanya aku melihat manusia berada di sini. Ini bukan hutan yang mudah untuk dijelajahi.” Katanya
“Tepat sekali. Aku kesini dengan sebuah kompas. Dia yang menuntunku sampai ke hutan yang tenang dan damai ini.”
“Kau betah di sini?”
“Tidak juga. Aku kesepian…”
.
.
.
“lagi.”
***
Dia mengajakku berkeliling. Dia tertawa sepanjang jalan. Aku juga. Aku tidak tahan untuk tidak tertawa kepada bahan candaannya. Aku rasa kita punya selera humor yang sama. Faktanya, kita punya banyak kesamaan selain sekedar selera humor. Contohnya, ketika aku menceritakan kepadanya betapa aku menyukai seni melukis tembok, dia pun berkata sama. “Mereka bilang melukis tembok-tembok fasilitas umum adalah kegiatan yang tidak terpuji. Tapi kadang kala karya dari tempat-tempat seperti itu malah sangat mencerminkan manusia. Walau tidak jarang juga, lukisannya bikin kesal.” Katanya. Aku tersenyum mendengar perkataan itu. Bagaimana bisa seorang kompas bisa punya pemikiran sejauh itu. Aku kira dia hanya sebuah benda mati yang tidak berperasaan.
Dia mengajakku menyebrangi sungai tanpa perahu. Akupun menolak.
“Ini sudah malam, tidak ada yang menyewakan perahu.” Katanya. “Kalau kamu tidak menyebrang sekarang juga, tempat yang aku janjikan itu akan sirna.”
“Tapi aku tidak bisa berenang. Aku punya pengalaman hampir mati tenggelam.”
“Sungainya dangkal.”
Aku menatapnya marah, mungkin juga takut.
“Yaaaa memang arusnya sedikit deras sih, hehehehe..” dia tertawa. “Ayo, kamu kan laki-laki, masa sih takut sama air.”
“Aku gak takut airnya. Aku takut mati.”
“Kalau aku bilang kamu gak bakalan mati, apakah kamu akan percaya kepadaku lalu ikut menyebrang?”
“Tergantung, kalau kamu berani berjanji.”
“Aku berjanji.”
Aku menghela napas. “Ya sudah, ayo kita menyebrang.”
Dia memegang tanganku lalu mulai perlahan-lahan mengajakku memasuki aliran sungai tersebut. Memang dangkal airnya. Hanya sampai perutku saja. Hanya saja, memang arusnya deras bukan main. Aku harus berjuang untuk tetap berdiri sambil memegang tangannya. Aku oleng, hampir saja aku terjatuh dan terbawa arus sungai itu. Dia memegangku sangat erat sambil menatap kedepan seolah-olah aku sedang tidak memegang tangannya.
Dia berhenti sejenak di tengah perjalan menyebrang sungai.
“Kamu mau duduk dulu?” Tanyanya.
“Kamu gila? Ini arusnya deras sekali. Kalau aku duduk, bisa-bisa aku terbawa arus.”
Kemudian dia duduk. Dia menghilang dari permukaan air, menyelam.  Tanganku yang masih dipengang olehnya ditarik untuk ikut duduk menyelam bersamanya. Tenagaku kalah kuat. Aku ikut menyelam.
Di luar dugaanku, di dalam aliran sungai itu dia menyala. Cahanya biru menyejukkan. Dia tersenyum. Aku tidak. Aku harus menjaga napasku supaya tidak habis. Dia menunjuk-nunjuk, menyuruhku untuk menoleh ke samping. Aku menoleh. Indah sekali.
Ikan-ikan itu berenang di sekelilingku dan dirinya. Dia tertawa lepas, tidak berpikir soal kehabisan napas. Dia menyentuh ikan-ikan itu dengan jari telunjuknya lalu mendorongnya ke arahku. Ikan-ikan itu kemudian menutupi pandanganku kepadanya. Ketika ikan-ikan itu pergi, aku melihatnya tersenyum ke arahku. Senyum itu adalah senyum paling tulus yang pernah orang lain berikan kepadaku. Dia memandangku lama sebelum akhirnya mengajakku ke permukaan untuk mengambil napas.
“Hahaha…bagaimana? Bagus kan pemandangan di dalam sana? Tidak membosankan bukan?”
Aku hanya bisa diam mengangguk.
Akhirnya kita sampai di tepian sungai yang kita tuju. Aku sebenarnya ingin berkata padanya bahwa aku lelah. Tapi mengingat senyum yang dia berikan kepadaku saat berada di dalam aliran sungai tadi, aku akhirnya mengurungkan niat.
“Aku kedinginan,” kataku mengeluh.
Dia menatapku, lalu kemudian berkata, “Kalau begitu, aku rasa membuat api unggun adalah pilihan yang terbaik, bukan begitu?”
“Kamu tahu cara membuat api unggun? Kamu kan seorang kompas. Pasti sering menyaksikan orang membuat api unggun.”
“Haahaha kamu lucu ya. Penuh prasangka.” Katanya. “Aku ini sebenarnya adalah kompas seorang pelaut tua. Jadi aku tidak tahu cara membuat api unggun.”
“Beruntung bagimu, aku pernah ikut kegitan Pramuka. Membuat api unggun adalah makanan sehari-hariku.” Jawabku bercanda.
aku kemudian berdiri untuk mengajaknya mencari kayu bakar. Tidak perlu terlalu banyak, yang penting cukup untuk menghangat badan kami sebelum akhirnya pergi melanjutkan perjalanan yang aku sendiri tidak tahu tujuannya kemana.
***
“Lalu, apa yang menghalangimu untuk kembali pulang wahai anak muda?” Tanya sebatang pohon dari belakang punggungku.
“Aku tidak tahu jalan pulang.”
“Aku bisa memberitahumu jalan keluar dari hutan ini kalau kamu mau. Tapi aku rasa bukan itu masalahnya, bukan begitu?”
“Maksudmu?”
Burung kecil itu pun ikut berbicara. “Kamu menunggunya untuk kembali bukan? Kamu penasaran dengan apa yang dia janjikan kepadamu, bukan begitu?”
Aku terdiam. Separuh diriku ingin berkata bahwa apa yang dikatakan burung kecil itu ada benarnya juga. Aku tidak bisa membantahnya.
“Aku rasa bukan begitu, Burung kecil.” Ucap sang pohon menyanggah. “Aku tahu seluk beluk hutan ini. Aku bisa dengan mudah memberitahunya tempat yang ingin ia tuju bersama teman kompasnya itu. Sahabat manusia kita ini tidak menunggu teman-kompasnya untuk kembali supaya temannya itu dapat menuntun dia ke tempat yang dijanjikan padanya. Sepertinya jawabannya terlalu sederhana, Burung  kecil.”
“Apa itu?”
“Dia menunggu teman-kompasnya itu untuk kembali supaya ia dapat melihatnya lagi.”
***
Sepanjang perjalanan mencari kayu bakar, kompas itu bercerita banyak hal. Dia bercerita bahwa dulu dia pernah dimiliki oleh seorang pelaut tua. Pelaut tua yang sangat berambisi untuk mencari harta karun tersembunyi untuk kemudian dihadiahkan kepada istrinya sebagai hadiah peringatan ulang tahun pernikahan mereka. Namun naasnya pelaut tua itu tidak tahu bahwa harta karun yang ia cari ternyata dijaga oleh arwah penasaran pemilik harta karun tersebut.
“…dia bertarung dengan sekuat tenaga yang ia punya,” katanya bercerita dengan sangat bersemangat. “Seluruh awak kapalnya telah tewas. Namun hal itu tidak membuatnya surut dan menyerah bertekuk lutut. Tekad untuk memberikan harta karun itu untuk istrinya mengalahkan rasa takutnya terhadap kematian. Hanya tersisa dirinya, sang arwah, dan aku yang tergantung di lehernya.”
Dia menghela napas. “Pertarungannya sangat sengit. Dia hampir menang. Harta karun itu sudah hampir dimilikinya. Namun sang arwah ternyata belum menyerah. Tekadnya untuk menjaga harta karun itu juga lebih kuat dari tekad sang pelaut.”
Aku memperhatikan dia menceritakan kisah itu dengan seksama. Aku tertarik dengan kisah ia yang ia ceritakan itu walaupun aku tidak tahu apakah itu nyata atau hanya karangannya saja supaya aku terkesan.
“Mereka berdua tumbang. Mereka berdua sekarat. Hanya tersisa aku di sana yang masih sadarkan diri.” dia berhenti sejenak. “Lalu kemudian sang pelaut tua mencabut pedang sang arwah lalu mengarahkannya padaku sambil berkata ‘Hiduplah dan antarkan harta karun ini kepada istriku.’ Sejak saat itu lah aku mempunyai wujud manusiaku ini.”
“Wowww..” ucapku terkagum-kagum. “Lalu bagaimana? Apakah kau menghantarkan harta karun itu kepada istri sang pelaut?”
“Pedang itulah harta karunnya. Pelaut itu dan istrinya tidak bisa mempunyai buah hati. Jadi dia mencari pedang itu supaya bisa mengubahku menjadi seorang manusia agar aku bisa menjadi anaknya. Tentu saja aku pulang, lalu menceritakan semuanya kepada sang istri.” Dia meneteskan air mata. “kini mereka berdua sudah berada di alam yang sama.”
“Lalu apa yang ingin kau lakukan sekarang?”
“Aku ingin tetap hidup menjadi sebuah kompas dan seorang manusia. Aku ingin merasakan cinta.”
Setelah dia berkata seperti itu, tubuhnya memancarkan cahaya biru itu lagi. Namun kali ini dia tidak kelihatan tersenyum. Die terlihat panik dan takut. “Oh tidak lagi..” katanya.
Aku bertanya, “Kenapa??”
Dia kemudian berubah wujud menjadi kompas. Di atas rumput yang kering itu dia masih menyala biru, hanya saja jarumnya berputar-putar tidak karuan ke segala arah. Mungkin dia rusak? Tidak lama setelah itu dia berubah wujud lagi menjadi seorang manusia.
Dia membelakangiku lama sekali sebelum akhirnya membalikkan badan dan melihatku. Dia terkejut lalu berjalan mundur perlahan.
“Si-Siapa kamu???” tanyanya.
Aku mencoba meraihnya, mencoba memegang tangannya.
“Aku-aku tidak mengenalmu.” Katanya, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk berlari meninggalkanku di hutan yang sepi ini sendirian.
***
“Ini, tulislah kisahnya di buku ini.” Kata seekor Orang Utan memberiku sebuah buku dan sebatang pena. “supaya kau bisa pulang dan melupakannya.”
“Aku tidak mengerti.” Kataku keheranan.
“Anggap saja ketika kau selesai menulis kisah tentang dia, kau akan melupakan semuanya dan kemudian berjalan kembali ke tempat kau memulai.”
“Maksudku, aku tidak mengerti kenapa aku harus melakukannya. Mungkin sesuatu terjadi kepadanya sehingga membuatnya lupa tentang diriku. Aku tidak mau melupakannya.”
“Kalau begitu kau bisa tetap diam di hutan ini menunggu kehadirannya yang tak pasti.”
“Aku tidak mau menulis tentang dia. Ini belum usai. Dia pasti kembali.”
“Dasar manusia bodoh.” Ucap seekor ular menggerutu.
Di sanalah aku ditemani seekor burung, orang utan, seekor ular dan sebatang pohon. Aku memlilih tetap diam dan menunggu. 


Senin, 16 Oktober 2017

DEMAGOGY WITHIN THE GOVERNMENT

In October 15th 2017, Anies gave a long speech about his program that he will do as the elected governor of Jakarta. But in one part in his speech, Anies talked about what people say as a racist topic. Anies said in his speech as I quote “Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura, “Itik se atellor, ajam se ngeremme.” Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain.” 
Professor Tom Pepinsky from Cornell University said that some of the statements in his speech is not worth it. “He (Anies) basically talked with number of phrase in Batak, Aceh, Banjar and many others. But also in the other hand, he uses SARA issues to describe a Jakarta that focuses more on indigenous interests than on Chinese descent. This is the campaign strategy that will be supported by Anies supporters. I think this speech is designed to be heard by all circles in Indonesia ahead of the process to the presidency of 2019” said Tom.
The uses of “Pribumi” Word is actually no longer used according to Instruksi Presiden No.26/1998 which entered into force on 16 September 1998. The word “Pribumi” is no longer used “in all policy formulation and implementation, program planning, as well as implementation of governance activities.”
If we look in the history of Indonesia, who is actually “pribumi”? as we know Indonesia consist of many people with many culture as well. What we know about Indonesia these days is basically the results of many culture cross that happen far way in the past. So, who is actually “pribumi”? is not an easy question to answer.
What Anies did say in his speech, I believe, is a strategy to gain more popularity among Jakarta people. This attitudes in exploit prejudices to gain popularity called demagogy. In this case, Anies uses SARA issues to exploit Jakarta people’s opinion.
Robert Robertus said "This is a demagogical feature, a model of political speech emphasizing the building of sentiments to mobilize the minds of the people, meaning that if it is demagogy, then it is not a concrete attempt to solve the basic problems of the lives of the people. If demagogy, the political mobilization is based Because demagogues have the weakness to solve the problem concretely and are covered with demagogy in the inauguration outside the building there is mass support that writes about indigenous and non-indigenous people. So, through the speech seemed to want to answer the demands of his old constituents, and he needs to "take care" of those whose political articulation is wrapped in the concept of indigenous and non-indigenous. The purpose of "taking care" is unknown "
What Robert says about demagogy is extremely true. If it is true that Anies exploits prejudices to gain popularity among his people, it would lead Jakarta to the wrong places where it shouldn’t be. Jakarta people will start to discriminate any other people who does not look oriental as they describe them as “non-pribumi”. This “pribumi” and “non-pribumi” issues will lead people to not cooperate with each other, while cooperation is the most important thing to do to gain an institutional success, in this case Jakarta.
Demagogy within the government should never exist. Because the government and the people will not think about their political choices anymore. It could distract people from the true meaning of politic itself. And this distraction will aggravate the future of politic in Indonesia, especially Jakarta.

Source: https://www.voaindonesia.com/a/pidato-anies-dinilai-kurang-tepat/4072985.html


Selasa, 29 Desember 2015

Segelas teh panas

Pemuda dalam balutan kaos hitam itu berlari menembus hujan. Menatap ke sebuah warung kecil sebagai tujuannya. Dilihatnya pintu warung menganga lebar. Dengan sigap ia masuk ke dalamnya, dan mengambil tempat duduk di sebuah kursi panjang yang ketika diduduki olehnya terasa bergoyang lemah. Tidak banyak orang disana, hanya dia, pemilik warung, dan empat orang berkemeja putih yang terlihat sedang menikmati kopi.
Hujan semakin deras, bunyi atap seng berkarat itu pun semakin keras. Melantunkan lagu abstrak yang terdengar membawa kesunyian ke dalam setiap hati yang mendengarnya. Pemilik warung yang sudah berumur itu mendekatinya. Dari dekat, tampak jelas rupanya. Matanya yang sayu, bibirnya yang keriput, serta kulitnya yang berlipat-lipat. Kakek itu tersenyum padanya, “Kopi den?” begitu ucapnya.
“Teh saja mang,” jawab pemuda itu.
Kakek tua itu hanya mengangguk, lalu membalikkan tubuh kurusnya meninggalkan si pemuda yang kali ini terlihat melamun. Lamunannya mengarah kepada berjuta kenangan yang telah ia lalui di kota ini, sebelum ia pergi untuk menjejakkan kaki di tanah rantau yang ia cintai. Namun, bagaimanapun ia mencintai tanah rantaunya, tak bisa ia pungkiri bahwa tanah asalnyalah yang lebih banyak menyimpan kenangan. Mungkin karena itu ia lebih mencintai tanah rantaunya? karena tanah ini menyimpan begitu banyak kenangan untuknya. Kenangan yang tajam bak belati yang siap menusuknya kapan saja. Tidak, tentu dia tidak akan ambil pusing untuk menggali-gali kenangan itu kembali. Biarlah belati itu terkubur.
Kakek tua itu datang kembali, kali ini dengan segelas teh panas di tangannya.
“Silahkan den.” Ucapnya kakek tua itu menyuguhkan.
“Terima kasih mang.” Pemuda tersenyum.
“Den, temannya ndak diajak?” kakek tua itu bertanya.
Pemuda itu terkejut. “Ah, ingatan itu lagi.” Gumamnya dalam hati.
***
“Hei, kita mampir disana sebentar,” Ucap Beni menunjuk ke arah sebuah warung kecil yang terletak di seberang jalan. “Kita nongkrong di sana sebentar.”
Teguh mengangguk, mengiyakan perkataan temannya.
Mereka berdua masuk, mengambil tempat duduk. Beni melepaskan tasnya, meletakkannya di atas meja.
“Mang, es teh dua.”
Pemilik warung itu spontan menoleh ke arah sumber suara, “Oke den.” Ucapanya.
Sembari menunggu es teh itu datang, Beni membuka suara, mengajak Teguh berbincang. “Gimana? Kamu ikut kan?”
“Aku juga gak tahu Ben, kamu tahu kan nilai raportku jelek.”
“Ayolah, sesekali liburan gak apa-apa dong. Orang tuamu pasti ngerti.”
“Ya, aku harap sih begitu.”
Es teh itu akhirnya datang, bersiap menemani obrolan mereka. Setelah cukup lama mereka mengobrol di sana, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Beni memasang tasnya, Teguh berdiri. Lalu mereka berdua berjalan keluar dari warung itu dengan meninggalkan dua gelas yang sudah tak berisi.

Tok Tok Tok!
Suara pintu itu di ketuk. Dilihatnya dari lubang kecil yang cekung itu, rupanya Beni. Teguh membuka pintu kamarnya.
“Ada apa Ben?” tanyanya.
“Boleh masuk gak nih?” Beni balik bertanya.
Teguh mengangguk, mempersilahkan temannya masuk. Beni berlari, lalu kemudian merebahkan badannya di kasur Teguh yang empuk. Teguh berjalan perlahan ke arahnya, “Kenapa Ben?” Tanyanya kembali.
“Oh ya tentang besok,” setengah badan Beni terbangun. “Jadi gak?”
Teguh terlihat ragu menjawab. “Ma-maaf Ben, orang tuaku gak ngizinin.”
“Trus kamu bagaimana?”
“Gimana ya? Aku sih pengen.”
“Kalau begitu pergi aja,”
“Maksudmu?”
“Kabur ajalah, besok aku tunggu di taman, kamu izin lah sama orang tuamu buat pergi ke taman, bilang aja mau lari pagi.”
Teguh setengah menunduk, “Tapi kan itu durhaka namanya Ben, takut kualat aku.”
“Ah, gak apa-apa. Sekali doang kok.” Sekarang Beni beranjak dari tempat tidur. “Dah ya, aku pulang. Besok pagi-pagi aku tunggu kamu di taman.” Punggungnya berlalu, menghilang di depan pintu meninggalkan Teguh dengan penuh perasaan bimbang.

Keesokan paginya, Beni sudah berada di taman. Menunggu Teguh untuk datang. Namun, setelah cukup lama tak jua dilihatnya batang hidung dari sahabatnya itu. sampai akhirnya matanya menangkap sosok Teguh membelah keramaian, berjalan ke arahnya.
“Nah akhirnya datang juga.” Ucap Beni sambil menyalakan mesin motor bebeknya. “Ayo, langsung naik.”
Teguh mengangguk, lalu mengambil tempat duduk tepat di belakang Beni. Beni langsung tancap gas meninggalkan tempat itu. meyusuri jalan perkotaan yang cukup padat. Mengarahkan motornya keluar dari kota itu. sampai akhirnya tulisan “Selamat jalan” itu terbaca olehnya dan Teguh.
“Kita kemana ya?” Tanya Teguh.
“Ah, aku punya tempat liburan bagus di dekat rumah nenekku, di dekat pantai.” Jawab Beni dari balik helm hitam yang sedang ia gunakan. Teguh kemudian terdiam kembali.
Sudah kali kedua mereka melewati plang kuning bertuliskan “Hati-hati. Keluar masuk proyek kendaraan”. Melihat plang itu Beni tak bergeming, kecepatannya malah semakin bertambah. Sampai menyentuh angka delapan puluh pada speedometer motornya. Lalu tiba-tiba kendaraan kuning nan besar itu keluar, mengambil jalur Beni. Beni terkesiap tak bisa berbuat apa-apa. Pasrah.
Brak!
***
“Aku dimana?” Beni bertanya. Di depannya berdiri kedua orang tuanya dengan seorang pria yang mengenakan jas putih panjang. Wanita yang dikenalnya sebagai ibu terlihat menangis. Dirinya ingin beranjak. Namun, sakit di seluruh bagian tubuhnya itu tidak meperbolehkan dirinya untuk beranjak. Sakit di mana-mana, perban di mana-mana.
Kedua orang tuanya menoleh, melihat anaknya yang telah sadar kembali. Wanita itu masih menangis, sementara sang pria yang dikenalnya sebagai ayah melangkah mendekatinya. “Kamu di rumah sakit, nak.” Ucapnya.
Dengan polosnya ia bertanya. “Kenapa?”
Ayahnya menatap bingung. Dia melihat ke arah dua orang lain yang sedang berada di ruangan itu. wanita itu mengangguk. Ayahnya kemudian mentap ke arahnya lagi. “Kamu tabrakan dengan Truk. Helm hitam itu menyelamatkanmu.”
Mata Beni terbelalak mendengar penuturaa ayahnya. Dirinya teringat akan sosok yang duduk di belakangnya ketika kejadian naas itu terjadi.
“Teguh mana?” tanyanya.
***
Hujan deras itu telah reda. Pemuda itu segera menghabiskan teh panas miliknya, kemudian berdiri lalu beranjak pergi ke arah si kakek tua. Tangannya menyodorkan lembaran uang berwarna merah keunguan. Tangan kakek tua itu menerimanya.
“Terima kasih mang,” ucapnya. “Kembaliannya diambil saja, saya pamit dulu.”
Baru saja ia berniat membalikkan punggungnya, namun tertahan oleh sebuah rasa aneh yang mengarah kepada kakek tua itu.

“Oh ya, dan tentang temanku itu, mamang bisa menghadiahkannya surat Al-Fatihah, agar ia bisa tenang di alam sana.” Ucapnya, kemudian berlalu meninggalkan penampakan punggungnya yang semakin memudar lalu akhirnya menghilang.

Sabtu, 26 Desember 2015

Secercah harapan yang hilang

“Mau kemana?” Tanyanya padaku. Aku hanya tersenyum kepadanya, terlalu malas untuk menjawab. Pun jika aku menjawab, dia tidak akan mendengarnya. Suara gendang, suara orang-orang, semuanya terlalu keras. Toh, setelah melihatku tersenyum, dia melanjutkan pandangan matanya pada biduan wanita yang sedang asyik berdendang itu.
Diriku perlahan memunggunginya, berjalan membelah sesak. Menuju ke tempat di mana mungkin harapan itu masih ada. Sedikit ku perlambat langkah kakiku untuk sejenak menikmati keramaian ini. Bukankah ini yang aku cari? Tempat yang jauh dari sepi? Namun, kenapa hati ini tidak merasakan kenyamanan berada di sini? Aku memejamkan mata, berusaha menghilangkan keabuan dalam benakku.
Mereka tertawa, seakan dunia sama indahnya dengan surga. Tanpa mereka sadari bahwa dunia ini hanya sementara. Setidaknya, begitulah kata para tetua. Aku mulai bertanya, seindah apa sih surga itu? Ah, pertanyaan bodoh, gumamku. 
Aku mulai berjalan lagi, meninggalkan kerumunan yang sedang riang gembira itu. Teriakan masing-masing dari mereka sungguh memekakkan telinga. Terasa seperti pisau tajam yang mulai menusuk hati. Merobek lebar pintu iri dan dengki yang sudah sekian lama menanti. Namun siapakah sebenarnya yang dibenci hati? Mereka atau pilihan ini?
Akhirnya, udara terasa segar. Sepasang paru-paru ini terasa lega, keluar dari kerumunan yang menyesakkan dada. Langkah kaki mulai berjalan lagi. Menuju ke tempat di mana mungkin harapan itu masih ada. sejenak ku longokkan kepala ke atas hanya untuk melihat indahnya susunan bintang. Lalu kemudian menatap lagi kedapan, lunglai berjalan menuju ke tempat harapan.
Di sinilah aku, di depan sebuah pintu kayu. Tua, namun masih bisa dipercaya kekuatannya. Tanganku merayap ke saku belakang, mencari-cari kunci dari pintu yang siap dibuka ini. Masuk lebih dalam, terasa onggokan besi kecil teraba oleh tangan. Dengan sedikit tarikan, kunci itu keluar, lalu masuk lagi, kali ini ke sebuah lubang kunci.
Pintu itu berderit, terbuka lebar. Tanganku mulai meraba-raba saklar yang seingatku berada di sebalah kanan daun pintu. Ctek! Lampu menyala, menampakkan seutas tali dengan simpul lasso yang sedang menganga lebar.
Di sinilah aku, di depan seutas tali.
***
“Hah? Dasar kau tidak bertanggung jawab.” Seorang pria tua berteriak, terdengar oleh orang-orang di sekelilingnya. “Untuk apa kau waktu itu berkata sanggup?”
“Maafkan aku kang, aku tidak bisa.”
“Bedebah.”
“Tapi memang begitu kang, aku tidak bisa menjalani pekerjaan  yang di mana aku sendiri tidak menyukai pekerjaan itu.” ucap pria muda itu membela diri.
“Lalu, kenapa kau bersumpah serapah menyanggupinya saat itu?”
“Aku khilaf kang, kalau saja aku tahu pekerjaannya seperti itu, mana mungkin aku mau? Aku tidak cocok”
“Ah, alasanmu saja. Dengar, pekerjaan itu sangat cocok untukmu. Lagipula, orang-orang menyanjungmu bukan?” pria tua itu menghela napas. “Dan kau tahu? Yang rugi itu kamu bukan aku.”
“Lalu, kenapa akang marah-marah dengan pilihanku ini?”
“Karena … orang-orang akan mulai membencimu, dan akang tidak mau itu terjadi. Kamu akan malu seumur hidup, dan tidak bisa lari dari kenyataan, orang-orang yang memilihmu akan menjauh darimu.”
“Biarkan saja.” Ketusnya. “Ini pilihanku.”
“Terserah..”
***
Aku menghela napas, bertanya kepada diriku sendiri. Apakah aku menyesali pilihanku ini? Iya, aku menyesal. Aku selalu dihantui rasa cemas. Karena telah menjalani pilihan yang sebenarnya setengah hati aku jalani.
Aku hanya bisa mengadu kepada Tuhan, namun mungkin jarak antara kami terlalu jauh. Orang bilang Tuhan hidup di dimensi yang berbeda. Di sebuah dimensi yan hanya bisa dimasuki melalui pintu gerbang yang bernama “kematian”.

Dan di sinilah aku, di depan seutas tali.

Senin, 21 Desember 2015

Sepucuk Surat

“Benar, aku tidak ingin ada seorang pun selain dia yang membacanya. Aku memohon padamu, sampaikanlah. Dia mata hatiku. Mata hati yang selalu ingin aku temui.”
“Masih segar di ingatanku, wajahnya yang putih dan bersinar diterpa sinar matahari pagi. Selalu, dia menyapaku lebih dulu dengan senyumnya yang meluluhkan hati. Aku senang, walau hanya bisa menatap kosong kepadanya. Mata bulat nan indah menghiasi wajahnya. Warna merah merona bertaburan di pipinya. Bibirnya yang mungil bagaikan sebuah garis yang digambar oleh seorang anak dengan penuh perasaan cinta. Bukankah dia seperti malaikat? Malaikat yang jatuh dan kebetulan bertemu diriku. Entah aku yang beruntung atau dia yang ditimpa sial, aku tidak tahu. Yang jelas, Tuhan telah berbaik hati mempertemukan kami berdua.”
“Aku senang melihatnya bahagia. Aku turut bersedih hati melihatnya bersedih. Entah dia merasakan hal yang sama denganku atau tidak, aku tidak peduli. Aku mencintainya. Aku mencintai malaikat itu. malaikat pagi yang selalu menyapa, dan membuatku merasakan cinta untuk pertama kalinya. Malaikat pertama yang selalu berada di sampingku tanpa tahu semua penderitaan ini. Aku tidak ingin dia tahu. Penderitaan ini aku simpan rapat-rapat darinya. Aku tidak ingin mata bulatnya yang indah itu dibanjiri akan air mata. Aku hanya ingin melihat matanya yang bulat itu menyipit, lalu membentuk garis melengkung seperti pelangi yang menyenangkan. Aku tidak ingin pipi merahnya yang merona dilalui oleh air mata layaknya sungai yang mengalir deras menuju hilir. Aku hanya ingin pipi merahnya yang merona itu semakin memerah tersipu olehku.”
“Aku tahu, aku terdengar egois. Tetapi, aku hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Ya benar, sesungguhnya kami berdua menginginkan yang terbaik untuk satu sama lain. Namun, terkadang selalu ada sesuatu yang bergesekan ketika dua buah benda bertemu. Dan, selalu ada yang tergores, terkikis, terluka ketika gesekan itu terjadi. Layaknya sebuah benda, hati ini juga begitu. Walaupun hati ini menikmati pertemuan dengannya, aku tersadar. Akan ada goresan, akan ada sebuah luka. Bukan karena cinta. Melainkan karena sebuah rahasia. Memang rahasia sedap disimpan, namun sakit pula rasanya. Sakit rasanya ketika engkau harus mengorbankan sesuatu untuk rahasia itu.”
“Kini aku membagikan rahasiaku padamu. Ada sesuatu yang menggerogoti diriku. Mulai menjalar ketika aku bertemu dengannya. Aku yang sebelumnya menyerah. Tidak punya apa-apa untuk dipertahankan, sekarang memiliki sebuah harapan. Harapan yang semula terlihat lamat-lamat, namun semakin hari semakin terlihat terang keberadaanya. Begitu juga yang terjadi pada penyakit yang menggerogoti tubuhku ini, yang semakin hari semakin terlihat keberadaannya. Sekarang, aku mengerti. Tuhan Maha Adil. Ketika Dia menciptakan harapan, terlahir juga darinya sebuah keputusasaan. Aku belum siap untuk pergi, kau tahu. Aku masih ingin berlama-lama dengannya. Aku ingin berlama-lama melihat rembulan dengannya. Seperti yang biasa kami lakukan ketika ia mengajakku pergi ke taman, hanya sekedar untuk menghilankan penat. Di sana aku lebih memilih melihat wajahnya yang indah diterpa rembulan daripada melihat rembulan itu sendiri. dia tersenyum, melihat ke arahku. Aku palingkan wajahku kepada rembulan, melihatnya cemburu. Aku belum siap untuk pergi. Aku ingin berlama-lama dengannya. Aku ingin berlama-lama melihatnya tertawa dan tersenyum.”
“Aku menyadari sesuatu. Rasa cinta. Harapan itu berubah menjadi rasa cinta. Harapan yang aku besarkan sejak bertemu dengannya di sebuah café, ketika aku sedang sibuk memutuskan apakah aku akan tinggal lebih lama disini atau pergi saja secepatnya. Saat itu dia berdiri di depan seorang pelayan café, berbalik menatap ke arahku. Menunjuk-nunjuk, lalu berjalan menuju tempat dudukku. Dia menyapaku, mengajakku berkenalan. Matanya menatapku indah. Dia bertanya padaku sedang apa aku di sini. Menunggu seseorang jawabku. Dia hanya tersenyum. Menunggu hujan reda ucapnya. Untuk pertama kali dalam hidupku aku mencintai hujan saat itu. Aku terkesiap ketika ia mengenalkan dirinya. Aku bersyukur. Dia satu sekolah denganku. Saat itu aku berpikir, bahwa ini jawabannya. Aku memutuskan untuk tinggal lebih lama disini. Agar aku bisa bertemu dengannya lebih lama.”
“Lewat surat ini aku memberi tahu dirimu dan juga dirinya. Aku tidak akan lama lagi. Tuhan tidak melihat siap atau tidaknya seseorang untuk dijemput. Aku akan segera pulang kepangkuannya, entah kapan. Namun, aku tidak bersedih hati. Setidaknya hari-hari terakahirku adalah bersama dia. Dan, aku merasa itu adalah sebuah anugerah. Anugerah dari Tuhan yang menyuruhku untuk pulang. Tuhan yang memberikan hari-hari terakhir yang terbaik untukku. Dengan penyakit ini sebagai tiketku, aku akan segera menaiki keretanya. Sampaikan salamku padanya. Katakan aku sangat mencintainya. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Entah itu di dunia ini atau di akhirat nanti. Yang jelas, aku sangat mencintai dirinya.”
“AKU MENCINTAI ALYSA”
Seorang wanita terlihat menangis membaca surat itu. Dia berdiri, lalu berjalan menuju mobil miliknya. Melaju secepat yang ia bisa untuk pulang ke rumah. Abraham yang memeberikannya. Katanya itu adalah surat yang ditulis Raihan sebelum dia menginggal dunia.
Wanita itu tiba di rumahnya. Masuk dan mengunci diri di dalam kamarnya. Menangis dan bertanya tentang betapa tidak adilnya Tuhan. Dia melihat kembali surat itu. membaliknya dan menemukan sebuah tulisan. Tulisan tangan yang indah. Dari tangan seorang lelaki yang amat dicintainya. Dia membaca tulisan itu dengan suara bergetar. Dengan air mata membasahi pipinya.

“Tuhan selalu adil Alysa, dia selalu memberikan anugerahnya.  - Raihan”

Minggu, 13 Desember 2015

Dia,Bukan aku.

Kembali aku memandangi layar ponselku. Kubaca lagi pesan singkat yang ia kirimkan padaku siang tadi. Sembari melihat jam dinding, aku berpikir sejenak. Akankah aku langkahkan kaki ini ke tempat yang ia pinta? Lagi. Kubaca pesan singkat itu.
“Sehabis maghrib ke taman ya?
Aku mau bicara sesuatu.” Begitu tulisnya.
Sebagian diriku menolak untuk pergi, sebagian lagi memaksa untuk pergi. Entah mana yang harus aku patuhi. Seharusnya aku sudah menjauhi dia sedari dulu, mengingat sekarang dia sudah ada yang punya. Hatiku mengalah kepada perasaan yang memaksaku untuk pergi. Alhasil tanpa diperintah kaki ini berjalan menuju taman.
Disana dia sudah menunggu. Melihat ke arahku. Tersenyum dia kepadaku. Tanganku melambai – lambai, seringai senyumku menjajarkan gigi – gigi yang sedang berbaris tegap kearahnya. Kenapa aku malah bersikap ramah kepadanya? Aku mengerti. Aku bodoh. Terlalu bodoh untuk mengabaikan wajah mungil dengan senyum menawan miliknya. “Dia sudah membuatmu kecewa” kataku kepada isi kepalaku yang kecil ini. Namun apa daya, kadang perasaan mampu mengalahkan logika.
Aku berjalan kearahnya. Dia menyapaku.
“Ari, kok telat sih? Biasanya kan kamu yang lebih dulu datang.” Dia masih tersenyum kepadaku. -Aku telat karena berpikir ribuan kali terlebih dahulu untuk menemuimu saat ini. Dan akhirnya aku datang. Mengorbankan logika. Mungkin juga perasaan-.
“Iya, tadi di perempatan ada yang rame – rame, gak tau apaan.” Jawabku berbohong. -Aku tahu, jika aku jujur kau akan sangat marah padaku. Walaupun seharusnya aku yang memarahimu. Menggerutu padamu karena telah meninggalkanku sendirian dalam sepi. Sekarang kau malah memintaku datang kepadamu-.
Aku duduk di dekatnya. Mulai membuka percakapan dengan sedikit basa – basi “Ada apa Nis?”. Mukaku memerah menanyakan hal itu padanya. Aku tidak percaya, aku berbicara dengannya lagi.
“Boleh gak aku curhat ke kamu?” Tanyanya padaku.
“Apa sih yang gak buat kamu Anissa?” Bah, munafik sekali aku ini.
“Beneran nih? Soalnya aku mau bicara tentang Ricko” ujarnya. –Ricko? Pacarmu itu? lelaki yang kau pilih ketimbang aku? Menurutmu kenapa aku ingin mendengar tentang dia?-.
“Iya ga papa kok” jawabku munafik (lagi).
Dia mulai berbicara panjang lebar tentang Ricko miliknya. Katanya Ricko sudah tidak seprti dulu lagi. Katanya Ricko sudah tidak sayang lagi kepadanya. “Lalu kenapa memilih bertahan dengannya?” tanyaku.
“Karena aku sayang Rikco, Ri.” jawabnya. Diriku tergtegun sejenak. Aku menyesal. Aku menyesal datang ke tempat ini. Kalau hanya untuk mendengarnya berkata betapa cintanya dia kepada kekasih hatinya itu. Untunglah hati ini masih segar belum membusuk. Aku bisa saja meninggalkannya ketika ia melempar perkataan itu padaku. Pergi menjauh lalu mengabaikannya. Tapi hati ini tidak bisa berbuat begitu. Sekali lagi, logika dikalahkan oleh perasaan.
Aku tidak tahu mau berkata apa. “Trus?” akhirnya aku bertanya.
“Aku mau minta pendapatmu, sebaiknya aku lanjut atau stop sama dia” jawabnya. Aih, melompat gembira hatiku. Ingin aku katakan “Ya putusin aja lah, buat apa jalan sama orang yang gak sayang sama kamu, bener gak?”. Namun, dalam sekejap gembira itu hilang. Aku tertegun kembali. Aku bertanya kepada diriku sendiri. Akankah dia mencintaiku jika aku berbuat begitu? Membuatnya berpisah dengan orang yang dia sayangi. Tak tega aku melakukannya. Aku tertunduk lalu tersadar. Aku mengerti bahwa cinta tidak bisa dipaksakan.
“Kalau menurutmu bagaimana?” tanyaku. Aku ingin mendengar apa yang dia akan katakan selanjutnya. Besar harapanku mendengar “ Aku mau putus sama dia Ri. Aku mau sama kamu” dari mulut manisnya. Menjijikkan, kenapa sekarang aku malah berfikir seperti itu? buang jauh – jauh fikiran itu.
“Nah karena itu aku memanggilmu kesini Ri, aku ingin mendengar pendapat teman terdekatku” jawabnya. Aku terkejut. Mataku terbelalak. Aku memandangnya. Aku mengerti. Selama ini dia menganggapku sebagai teman. –Hah? Teman? Kamu harus tahu bahwa aku menyimpan rasa padamu. Dan setelah apa yang kita lalui kau menganggapku teman. Benar – benar gadis yang hebat-.
Aku sudah tidak tahan, aku ingin pergi dari tempat ini secepatnya. Apa ini yang terjadi? Tubuhku sama sekali tak mau bergerak. Aku memaksakan diri. Inginku langkahkan kaki ini. Namun, hati ini menghianatiku. Begitu juga dengan kaki ini. Mereka memilih bertahan walau sakit. Aku tidak mengerti. Kenapa? Kenapa aku harus diam disini? Hati dan kaki nan mungil itu tak menjawab. Aku kalah. Kali ini tak hanya kalah oleh hati, namun juga kaki.
“Menurutku, kalau kau sayang sama dia yang tetap jalanin aja” Sekarang bibir ini mengatakan sesuatu yang tak ingin aku katakan. Atau mungkin memang ini yang ingin aku katakan(?). Ah aku tidak mengerti.
“Tapi mau sampai kapan?” tanyanya.
“Sampai rasa sayang itu hilang dan tergantinkan oleh rasa yang baru” Jawabku spontan. Dia melihatku sejenak. Memiringkan kepalanya. Aku membalasnya dengan tatapan bingung.
“Maksudmu?” ucapnya. Apa yang harus aku katakan? Perkataanku barusan keluar dengan spontan. Aku salahkan hati. Namun, ia munujuk logika untuk menjawab. Kutanya logika. Dia diam seribu bahasa.
“Eh..maksudku, intinya jalanin aja.” Hufft akhirnya pertanyaan itu terjawab. Aku lolos. Hati dan logika tersenyum sumringah kepadaku. Aku lihat dia menunduk. Beberapa detik kemudian dia menatapku. Air mata membasahi pipinya. “Aku sudah gak tahan sama dia Ri, sebenarnya aku tuh suka sama kamu”. Ah fikiran itu lagi. Sudah kubilang untuk pergi jauh – jauh. Menjijikkkan. Kali ini aku yang tertunduk. Dia menepuk bahuku. Lalu berkata “Terima kasih ya Ri. Kamu sudah mau dengerin aku curhat”. Katanya.
“Sama – sama” jawabku sambil tersenyum. Itu adalah senyum paling palsu yang pernah menghiasi bibirku. Aku tidak ingin dia berterima kasih kepadaku dalam keadaan seperti ini. Andai saja dia tahu betapa besarnya perasaanku padanya. Aku tidak menyalahkan siapa – siapa karena aku tidak bisa memilkinya. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri. Diriku yang terlalu takut mengungkapkan. Sekarang baru terasa pedihnya. Ketika sang bunga dipetik tetangga yang entah darimana datangnya. Aku yang bagai sang kupu – kupu hanya bisa terdiam membisu. Bertanya kepada hati dan menangis bersamanya.
Sejurus dengan hatiku, langit pun mulai menangis.
“Eh hujan nih, pulang yuk, aku anterin” ujarku.
“Eh iya iya, ayo” jawabnya.
Sebelum kami tiba di rumahnya, hujan menangkap kami berdua. Kami berdiam di sebuah bengkel yang sudah tutup sejak sore tadi. Aku melihatnya menggigil kedingin. Kehujanan. Aku melirik jaketku. Hati ini menyuruh untuk memberikan jaket ini untuknya. Aku katakan tidak. Dia telah menyakitiku. Lagi – lagi perasaan itu datang. Tanganku bergerak, membuka jaket ini. Kukenakan jaket itu padanya. Dia terkejut. Menatap ke arahku lalu tersenyum dan berkata “Terima kasih ya Ri”
“Sama – sama” jawabku tersenyum. Kami mengobrol. Menunggu hujan reda.

Aku menatap dirinya yang sedang asyik bercerita. Aku hanya tidak mengerti dengan si Ricko itu. bodohnya dia mengabaikan gadis secantik Anisa. Bagiku, pria paling beruntung adalah pria yang saling memilki dengan Anissa. Tapi, sayangnya pria itu adalah dia. Bukan Aku.